Total Tayangan Halaman

Kamis, 15 November 2012




A.       LATAR BELAKANG MASALAH
Bangsa Indonesia dewasa ini sedang menghadapi krisis multidimensi: politik, hukum, sosial budaya, pertahanan keamanan, bahkan moral. Kolusi, korupsi dan nepotisme semakin merajalela, kepastian hukum semakin tidak jelas; pengangguran, kemiskinan belum diatasi secara optimal. Akibatnya, wajarlah jika rakyat mempertanyakan kemampuan dan kemauan elite politik dalam menyelesaikan problema bangsa. Namun, di sisi lain, elite politik itu sendiri seolah-olah tidak mau mendengar, bahkan sengaja mengabaikan keluhan itu. Dengan demikian, pastilah ada yang salah (besar) dalam praktik politik kenegaraan yang dijalankan oleh para elite politik.                      
Tindakan korupsi saat ini telah menjadi bagian hidup dan budaya bagi elit politik Indonesia. Jika dahulu korupsi didominasi oleh para pejabat, elit politik maupun pengusaha papan atas, kini korupsi sudah menjalar ke seluruh sektor kehidupan. Korupsi seolah-olah telah merasuk ke dalam sendi-sendi kehidupan bangsa Indonesia. Indikasi tersebut semakin nyata jika kita melihat data terbaru mengenai peringkat Negara terkorup di Asia Fasifik, berdasarkan survei PERC (Political And Ekonomic Real consiltacy). Dari survei itu Indonesia menduduki peringkat pertama dengan nilai mencapai 9.07 dengan sekala 10.
Perilaku korupsi yang dilakukan elit politik sangat mengecawakan karena dari tahun ketahun kasus korupsi di Indonesia terus menunjukan angka peningkatan. Pada tahun 2008 misalnya, indonesia menduduki peringkat ketiga sebagai negara terkorup di dunia setelah Thailand dengan nilai tingkat korupsi 7.98. Sedangkan untuk tahun 2009 Indonesia mulai menduduki peringkat pertama dengan nilai tingkat korupsi 8.32. Pada tingkat dunia , berdasarkan data yang dirilis oleh CPI (Coruption Perception Index) negara indonesia menduduki peringkat ke 110 sebagai negara terkorup di dunia (Nurudin, dkk, 2011 : 42-43).

Meningkatnya kasus korupsi dari tahun ketahun ini juga mengindasikan bahwa masih lemahnya penanganan kasus korupsi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Sudah berapa banyak kasus korupsi yang belum terselesaikan bahkan tidak ditangani secara serius oleh pemerintah. Begitu juga dengan elit politik seolah-olah tidak menyadari bahwa korupsi itu merupakan perbuatan yang sangat buruk dan merusak citra bangsa dan negara dimata dunia.
Rakyat sering memberikan sindiran bahkan sinisme atas melemahnya kekuatan yang selama ini dipuja-puja sebagai kekuatan yang sangat menentukan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kekuatan tersebut yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif. Kekuatan-kekuatan ini, hanya memiliki kekuatan potensial bukan kekuatan aktual. Banyak contoh yang menunjukan ketidak aktualan kekuatan tersebut. Contoh yang paling menonjol ialah dalam hal penegakan hukum. Pemerintah tidak berdaya menghadapi kasus korupsi yang dilakukan oleh aparatnya sendiri dan para pengusaha. Presiden sebagai sebagai kepala eksekutif tidak bertindak tegas dan cepat dalam menengani kasus-kasus korupsi, bahkan terhadap kader partai poltik yang sebagai pribadi membina Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mendapatkan mandat penuh dari DPR dalam menumpas korupsi tampak lamban dan ragu-ragu menggunakan kekuatannya. Aparat penegak hukum lebih disibukan dengan kasus-kasus penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oknum-oknum dekat mereka. Dengan demikian, peluang kelompok kaum elit politik terbuka lebar dalam melakukan wewenang kekuasaannya untuk korupsi.
Menyedihkan, bila yang dikatakan seorang anggota dewan dan pengamat politik memang benar bahwa titik pusat korupsi di negara ini berada di dua tempat yakni Lembaga DPR dan Istana. Kalau memang benar, maka secepatnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan penyelidikan dan jika perlu ditingkatkan menjadi penyidikan. Walaupun sulit untuk memutus mata rantai korupsi, dikarenakan rakyat sudah memberikan kepercayaan penuh kepada elit politik dikedua tempat tersebut. Oleh karena itu, dibutuhkan terobosan yang radikal untuk memutus mata rantai tersebut.
Perkembangan kasus korupsi di Indonesia sangat jelas, baik dari partai politik maupun kelompok sosial atau publik tidak mengingkari adanya korupsi. Hal ini dikarenakan memenuhi nafsu untuk hidup mewah dalam kelompok elit yang memerintah. Untuk memenuhi belanja kemewahan kelompok elit yang memerintah terpikat dengan urusan-urusan korupsi. Sebab-sebab lain merupakan efek lanjutan yang disebabkan oleh korupsi selanjutnya, merupaka reaksi berantai yang disebabkan oleh korupsi. Korupsi kelompok elit menyebabkan kesulitan-kesulitan ekonomi, dan kesulitan ini pada gilirannya menjangkitkan korupsi lebih lanjut.
Seorang tokoh publik yang sangat aktif yang pernah menduduki jabatan kementerian tertinggi Cina, Wan An Shih (1021-1086), dalam usahanya memberantas korupsi terkesan oleh dua sumber korupsi yang senantiasa berulang. Yakni, buruknya hukum dan buruknya manusia. Sebagaimana di kemukakannya, “Namun apa yang terutama ingin saya tekankan sekarang adalah bahwa sejarah membuktikan tidaklah mungkin menyalamatkan pemerintah yang layak dengan cuma bertopang pada kekuatan hukum untuk mengendalikan para pejabat, sementara mereka sendiri bukan orang yang tepat untuk pekerjaannya. Demikian juga, adalah sia-sia untuk mendambakan pemerintah yang efisien, yang memiliki orang-orang yang baik dalam posisi yang layak, bila anda memagari mereka dengan setumpuk larangan yang rumit dan terprinci sekali. (syed Hussein Alatas, 1975 : 07).
Elit politik yang korupsi dan hidup dengan kemewahan tidak punya rasa  impati terhadap warga masyarakat yang menjalani kehidupannya dengan berbagai macam pekerjaan. Demi menjaga kelangsungan hidup, rela bekerja dan mendapatkan imbalan apa adanya. Seorang tukang becak, setiap hari mengayuh becaknya untuk mendapatkan uang beberapa ribu, kadang tidak sampai lima puluh ribu. Tetapi, para elit politik, bisa mendapatkan uang milyaran rupiah dengan cara mengambil prosentase dari proyek APBN. Misalnya kasus pembangunan Wisma Atlet, yang menempatkan Nazarudin menjadi tersangka, ternyata melibatkan banyak orang yang memiliki jabatan di pemrintahan dan partai.
Rakyat Indonesia memberi kepercayaan kepada KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) untuk memberantas dan membersihkan korupsi, meskipun.  pengadilan Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) sering membebaskan tersangka korupsi. Berbagai elemen masyarakat mendatangi kantor KPK untuk menuntaskan kasus-kasus korupsi besar, meski demikian belum memuaskan hasilnya. Setidaknya, melalui KPK masyarakat masih mempunyai harapan untuk menuntaskan kasus-kasus korupsi.
Tindakan korupsi yang dilakukan para elit politik tentunya tidak pernah di lakukan dengan sendirian, selalu berkaitan dengan jaringan. Dalam kata lain, jaringan korupsi sudah seperti mafia. Yang bergerak untuk membebaskan dirinya dengan cara mengorbankan orang lain, dan selalu menjaga kelompoknya agar tidak tersentuh hukum. Negara kita bukan negara mafia, tetapi kita sering mendapati persoalan korupsi tidak tuntas jika bersentuhan para kelompok elit, khususnya elit politik. Ironisnya hukum di Indonesia hanya berfungsi untuk memukul rakyat kecil, seperti maling ayam, pencuri kokai, sandal jepit dan sejenisnya.
Elit politik yang harusnya mengayomi dan memperjuangkan kepentingan rakyat, tetapi dalam peraktiknya justru memperjuangkan individu dan kelompoknya. Sebagaimana masyarakat mengetahaui bahwa akhir-akhir ini perdebatan di antara elit politik mewarnai wajah media massa. Dari perdebatan-perdebatan itu masyarakat mendapat kesan bahwa merekalah yang tahu segala persoalan, bahkan muncul kesan bahwa merekalah yang paling hebat. Padahal, apa yang mereka bicarakan belum tentu kebenarannya. Mereka tidak peduli apakah yang dibicarakan itu fakta atau hanya merupakan sebuah analisa. Yang penting buat mereka (elit politik) berbicara melalui media merupakan alat yang ampuh agar dapat mencitrakan diri secara individu maupun dalam kelompoknya, agar semua lapisana masyarakat mengetahui apa yang mereka katakan adalah suatu kebenaran. Dengan demikian, elit politik tidak mempersoalkan ungkapan yang dipublikasikan melalui media benar atau tidak, ini menunjukan bahwa elit politik sekarang tidak memiliki moral.

B.       RUMUSAN MASALAH
Dari penjabaran pada latar belakang tersebut di atas, maka penulis dapat merumuskan suatu masalah yakni: Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan para elit politik melakukan tindakan korupsi.?

C.      TUJUAN DAN MANFAAT

1.      Tujuan
Adapun tujuannya ialah sebagai berikut: ingin mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan elit politik  dalam melakukan tindakan korupsi.
2.      Manfat
a. Kegiatan penulisan tugas ini diharapkan mendatangkan manfaat bagi penulis dalam perspektif pengembangan diri dan pengembangan kemampuan akademik.
b. Hasil penulisan ini dapat mendorong pemahaman yang lebih baik bagi semua pihak mengenai dampak perilaku korupsi yang mengancam kestabilan negara Indonesia.

c. Hasil penulisan ini bisa dijadikan sebagai bahan pengkayaan informasi dan ilmu pengetahuan tentang konsep perilaku korupsi khususnya kalangan politisi.







BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.    Kajian Pustaka

1.      Konsep Elit
Elit menurut Pareto, yang disebut dengan kelompok elit adalah sekelompok kecil individu yang memiliki kualitas-kualitas terbaik, yang dapat menjangkau pusat kekuasaan sosial politik. Elit merupakan orang-orang yang berhasil, yang mampu menduduki jabatan tinggi dalam lapisan masyarakat. Pareto meyakini bahwa elit yang tersebar pada sektor pekerjaan yang berbeda itu umumnya berasal dari kelas yang sama. Yakni orang-orang yang kaya dan pandai. Ia menggolongkan masyarakat kedalam dua kelas, lapisan atas (elite) dan lapisan bawah (non-elite). Lapisan atas atau kelas elit terbagi dalam dua kelompok, yakni elit yang memerintah (governing elite) dan elit yang tidak memerintah (non-governing elite). (Bellamy Rechard, 1990: 40).
Gaetano Mosca menjelaskan bahwa kekuasaan elit sebagai akibat “sifat-sifat tak terbantahkan dari watak sosial manusia”. Keunggulan watak moral biasanya menang dalam jangka panjang atas keunggulan sejumlah dan kekuatan, lebih penting dan kurang diamati. Sebuah minoritas yang terorganisasi, yang bertindak secara terkoordinasi, selalu menang atas sebuah mayoritas tak terkoordinasi, yang tak memiliki kesamaan keinginan, dorongan, maupun tindakan. (Bellamy Rechard, 1990: 55).
Masyarakat dalam bentuk apapun senantiasa muncul dua kelas, yaitu kelas yang memerintah dan kelas yang diperintah. Kelas yang memerintah memiliki jumlah yang sedikit, memegang semua fungsi politik, monopoli kekuasaan dan menikmati keuntungan. Dimana dalam menjalankan fungsi politik ini harus melalui organisasi atau yang lebih dikenal adalah partai politik Secara umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orentasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama.
2.      Konsep politik
Politik berasal dari bahasa Yunani, yaitu polis yang berarti kota, negara kota. Dari polis berkembang konsep polites yang bermakna warga negara dan konsep politikos yang berarti kewarga negaraan. Dari penjelasan etimologis tersebut maka dapat disimpulkan bahwa politik sebagai sesuatu yang berhubungan antara warga negara pada suatu (negara) kota. Sedangkan akar katanya dari bahasa inggris adalah politics, yang bermakna bijaksana. Kalau dilanjutkan pemahaman etimologis dari dua akar kata dari bahasa yang berbeda tersebut, dari bahasa Inggris maupun Yunani, maka politik dapat dapahami sebagai suatu proses dan sistem penentuan dan pelaksanaan kebijakan yag berkaitan dengan warga negara dalam negara (kota). (Damsar, 2010: 10).
Menurut Maurice Duverger (1082), melihat bahwa hakikat politik bersifat ambivalen. Di satu sisi politik merupakan konflik untuk meraih kekuasaan, di mana individu atau kelompok yang memegangnya cenderung untuk mempertahankan dominasinya terhadap masyarakat. Sedangkan individu atau kelompok yang berkuasa berusaha untuk menentang bahkan merebutnya. Di sisi lain politik sebagai suatu usaha untuk menegakkan ketertiban dan keadilan.  (Damsar, 2010: 10).
Elit politik yang ingin meraih kekuasaan dan kedudukan politik. melalui persaingan yang ketat antara satu dengan yang lainnya, untuk mencapainya tidak lepas dari ikatan partai politik yang lebih terorganisir. Sebagai mana pendapat tokoh partai politik R.H. Sultau, mengatakan ”partai politik adalah sekelompok warga negara yang sedikit banyak terorganisir, yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan yang-dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih – bertujuan menguasai pemerintahan dan melaksanakan kebijakan umum mereka”(budiarjo 1986:161).
Partai politik dapat diartikan sebagai kelompok yang terorganisir dengan anggota yang memiliki orientasi nilai dan cita-cita yang sama dengan tujuan meraih kekuasaan dan kedudukan politik. Partai politik tidak sama dengan gerakan politik atau kelompok penekan (pressure group) yang organisasinya tidak seketat partai politik. Sebab partai politik memiliki fungsi atau tujuan yang sangat kompleks. Ada beberapa fungsi partai politik yaitu: (a) partai politik sebagai sarana komunikasi politik, salah satu tugas parpol adalah menyalurkan aneka ragam pendapat dna aspirasi rakyat dan mengatur sedemikian rupa sehingga kesimpang siuran dalam masyarakat berkurang, (b) partai sebagai sarana sosialsasi politik, dalam ilmu politik sosialisai politik diartikan proses melalui mana seseorang memperoleh sikap dan orentasi terhadap fenomena politik, dan umumnya berlaku dalam masyarakat dimana ia berada, (c) parpol sebagai sarana rekruitment politik, parpol juga berfungsi untuk mengjkak orang yang berbakat untuk turut aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota partai, (d) parpol sebagai sarana pengatur konflik, dalam suasana demokrasi, persaingan dan perbedaan merupakan hal yang wajar. Jika terjadi konflik, partai politik berusaha untuk mengatasinya. (Budiman 1986:163-164).
3.      Konsep Korupsi
Korupsi menurut pemakaian umum ialah ‘korupsi’ pejabat, kita menyebuat korup apabila seorang pegawai negeri menerima pemberian yang disodorkan oleh seorang swasta dengan maksud mempengaruhinya agar memberikan perhatian istimewa pada kepentingan si pemberi. Terkadang perbuatan menawarkan pemberian sepeti itu atau hadiah lain yang menggoda juga tercakup dalam konsep korupsi. Fenomena lain yang bisa di pandang sebagai korupsi adalah pengangkatan sanak saudara, teman-teman atau rekan-rekan politik pada jabatan-jabatan publik tanpa memandang jasa mereka maupun konsekuensinya pada kesejahteraan publik. Hal ini disebut ‘nepotisme’. (Syed Hussein Alatas, 1975: 11).
Dalam (Kartini kartono, 2005) mendefinisikan korupsi adalah tingkah laku invidu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi yang merugikan kepentingan umum dan negara. Jadi korupsi merupakan gejala: salah pakai dan salah urus dari kekuasaan demi keuntungan pibadi, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan wewenang dan kekuatan-kekuatan formal (misalnya dengan alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan, korupsi adalah tindakan setiap orang yang melawan hukum dengan melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. (www. Nasional. kompas.com).
Fenomena korupsi tercakup dalam tiga istilah: penyuapan (bribery), pemerasan (extertion), dan nepotisme. Semua itu tidak sama sekali sama, namun mereka tidak diklasifikasikan di bawah satu judul. Pada pokoknya, ada suatu benang merah yang menghubungkan tiga fenomena ini itu. Penempatan kepentingan-kepentingan publik di bawah tujuan-tujuan privat dengan pelanggaran norma-norma tugas dan kesejahteraan, yang dibarengi dengan serba rahasiaan, pengkhianatan, penipuan dan pengabaian yang kejam atas setiap konsekuensi yang diderita oleh publik.
Korupsi mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (a) Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang. Hal ini tidak sama dengan kasus pencurian, misalnya, ataupun penipuan. Seorang operator terasing yang korup sesungguhnyalah tidak ada, dan kasus-kasus demikian biasanya termasuk dalam pengertian penggelapan (fraud). Satu contoh adalah pernyataan palsu tentang belanja atau rekening hotel. Namun bahkan di sini acapkali ada pengertian diam-diam antara para pejabat yang mempraktekan penipuan-penipuan demikian untuk membiarkan situasi yang terjadi. (b) Korupsi pada umumnya melibatkan kerahasiaan, kecuali di mana ia telah begitu merajalela dan begitu dalam berurat-berakar sehingga individu-invidu yang berkuasa atau mereka yang berada dalam lindungannya tidak tergoda untuk menyembunyikan perbuatan mereka. Namun, sekalipun demikian, bahkan di sini pun motif korupsi tetap di jaga kerahasiaannya. (c) Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik. Kewajiban atau keuntungan itu tidaklah senantias berapa uang. (d) Mereka yang mempraktekan cara-cara korupsi biasanya berusaha untuk menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di balik pembenaran hukum. (e) Mereka yang terlibat dalam korupsi adalah mereka yang menginginkan keputusan-keputusan yang tegas dan mereka yang mampu untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu. (f) Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan, biasanya pada badan publik atau masyarakat umum. (g) Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhiyanatan kepercayaan. (h) Setiap bentuk korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif dari mereka yang melakukan tindakan itu. Ketika seorang pejabat disuap untuk mengeluarkan suatu lisensi bisnis oleh pihak yang menawarkan “pemberian”, perbuatan mangeluarkan lisensi itu merupakan fungsi dari jabatannya maupun kepentingannya sendiri. Dia berbuat dalam fungsi kontradiktif ganda. Hal yang sama bisa dikatakan terhadap pihak yang memberikan suapan. Pemberian dan penerimaan lisensi adalah fungsi kepntingan bisnisnya yang sesuai dengan hukum, namun perlindungannya pada penyuapan jelas tidak. (i) Suatu perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan pertanggung jawaban dalam tatanan masyarakat. Ia didasarkan atas niat kesenjangan untuk menempatkan kepentingan umum di bawah kepentingan khusus. (Syed Hussein Alatas, 1975:11).
Ciri-ciri korupsi di atas bisa diperluas, ia sama sekali tidak tuntas, namun sudah cukup berfunsi sebagai seperangkat kriteria yang dapat digunakan untuk mengklasifikasi korupsi.
B.       Landasan Teori

1.      Teori Interaksionisme Simbolik
George Herbert Mead mengatakan, orang tidak hanya menyadari orang lain tetapi juga mampu menyadari dirinya sendiri. Dengan demikian orang tidak hanya berinteraksi dengan dirinya sendiri. Interaksi simbolik dilakukan dengan menggunakan bahasa sebagai satu-satunya simbol terpenting dan melalui isyarat, simbol bukan merupakan faktor-faktor yang susah menjadi simbol berada dalam proses kontinyu.  Proses penyampaian makna inilah yang dikatakan subjek mater dari sejumlah analisa kaum interaksionis simbolik. (poloma, 2003 : 257).

Mead, mengatakan bahwa makna dan pikiran adalah sesuatu yang penting dalam mengerti manusia, di mana pemilikan karakter-karakter ini membuat esensi berbeda dengan semua perilaku binatang. Jika dinyatakan bahwa agar binatang bisa bertahan hidup, ia lebih memanfaatkan reaksi. Tanggapan binatang atas lingkungan atau perilaku yang menjadi stimuli lebih banyak karena menanggapi objek lain. Ia muncul sekadar spontanitas yang bersifat sesaat. Tetapi,  jika manusia menanggapi apa yang terjadi dilingkungan mereka, maka manusia menggunakan sesuatu yang dalam bahasa inggris disebut  Conduct (sikap). Ada hal spesifikasi dari sikap, sebab di dalamnya ada pemilikan mind (pikiran) dan pemilikan self (kedirian). Dari kedua unsur tersebut, berbeda dengan binatang, manusia bisa memandang dirinya sebagai subjek dan juga objek. (Cuff & Payne, 1979:90 dalam, Rachmad K, 63-64: 2008)
Simbol bersifat luas, sehingga yang dimaksud disini bukan hanya dihubungkan dengan warna semata, tetapi juga bisa ditampakkan pada bentuk lain yang bersifat beragam, seperti bahasa (Language), bahasa tubuh (body language), ekspresi muka (facial ekspression), keras lemahnya suara (loud-week of foice), dan budaya (custom). Mead menyatakan bahwa mengkaji simbol dalam kehidupan manusia menjadi penting, karena disebabkan makna (meaning) yang ditunjukkan. Bentuk-bentuk seperti objek, gagasan, keyakinan, orang, nilai-nilai dan kondisi sesuatu, semuanya bisa diakui keberadaannya oleh manusia, disebabkan makna-makna yang dimiliki danterdapat di dalamnya. (Rachmad K, 2008 : 66)
Menurut Herbert Blumer, interaksi simbolik bertumpu pada tiga premis : (1) manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka (2) makna tersebut berasal dan “interaksi sosial seseorang dengan orang lain” (3) makna-makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi sosial berlangsung. (M. Poloma, 2003: 258).
Herbert Blumer dalam Poloma (2003, 260-261)  mengatakan bahwa tindakan manusia bukan disebabkan oleh beberapa “kekuatan luar” (seperti yang dimaksud oleh kaum fungsionalis struktural) tidak pula disebabkan oleh “kekuatan dalam” (seperti yang dikatakan oleh kaum reduksionis-psikologis). Tindakan manusia penuh dengan penafsiran dan pengertian. Tindakan-tindakan mana saling diselaraskan dan menjadi apa yang disebut kaum fungsionalis sebagai struktur sosial. Blumer lebih senang menyebut fenomena itu sebagai tindakan bersama dalam, atau “pengorganisasian secara sosial”. Tindakan-tindakan yang berbeda dari partisipsi yang berbeda pula. Setiap tindakan berjalan dalam bentuk prosesual, dan masing-masing saling berkaitan dengan tindakan prossesual dari orang lain. Bagi Blumer tindakan lebih dari hanya sekedar performance tunggal. Blumer menyatakan dengan demikian interaksi manusia dijembatani oleh penggunaan simbolik-simbolik oleh penafsiran, oleh kepastian makna dari tindakan-tindakan orang lain dalam perilaku manusia. Modiasi ini sama dengan penyisipan atau penafsiran diantara stimulus dan respon.
Menurut teoritisi interaksi simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya adalah “Interaksi mereka dengan menggunakan simbol-simbol yang merepresentasikan apa yang mereka maksudkan untuk berkomunisi dengan sesamanya, dan juga pengaruh yang ditimbulkan penafsiran atas simbol-simbol ini terhadap perilaku pihak-pihak yang terlibat dalam interaksi sosial”. Penganut interaksi simbolik berpandangan, perilaku manusia pada dasarnya adalah produk interpretasi mereka atas dunia sekeliling mereka, jadi tidak mengakui bahwa perilaku itu dipelajari atau ditentukan, sebagaimana dianut teori behavioristik atau teori struktural. Alih-alih perilaku dipilih sebagai hal yang layak dilakukan berdasarkan cara individu mendefinisikan situasi yang ada.
Erving Goffman (1922-1982) menyatakan bahwa hukum interaksi sosial ditemukan pada hukum panggung (stage) atau individu yang memainkan peran di penampilan teater atau drama pertunjukan. Individu atau kelompok harus mengerti ia pada posisi di panggung depan (front stage atau front region) atau panggung belakang (back stage atau back region). Panggung depan menunjuk pada sebuah drama yang dipentaskan, yang perilaku pemain selalu dikendalikan, diminitoring, dan dievaluasi oleh dua hal, yakni naskah dan tanggapan penonton. (Rachmad K, 2008: 368-369).

2.       Realitas Mikro
Elit politik merupakan agen yang mempengaruhi sistem dalam struktur, yang menjadi aktor dalam menjalankan sistem yang berlaku. Sehingga mereka mempunyai peluang yang sangat besar untuk melakukan tindakan korupsi. Sebagaimana menurut Erving Goffman bahwa aktor sangat mempengaruhi sekenario dalam memainkan peranan di atas pentas panggung sandiwara. Hal yang sama dilakukan elit politik, mereka telah melakukan sandiwara di depan publik bahwa mereka adalah perwakilan yang memperjuangkan hak-hak rakyat, akan tetapi berbeda dengan realita yang terjadi setelah permainan mereka telah diketahui yang sebenarnya. Sebagaimana yang disebut Goffman yaitu panggung depan dan panggung belakang.
Melihat fenomena korupsi yang terjadi di Indonesia, sangat relevan meneyentuh dari sisi realitas mikro, dimana perilaku elit politik yang mempengaruhi struktur, sehingga mereka dengan mudah melakukan tindakan korupsi. Dari tindakan korupsi tersebut, berdampak terhadap keseluruh lapisan masyarakat.
Teori mikro terbagi atas dua bagian, yakni mikro subjektik dan objektif, adapun contoh mikro subyektif ialah : persepsi, keyakinan, berbagai segi konstruksi sosial tentang realita. Sedangkan contoh  mikro obyektif  ialah : pola perilaku, tindakan dan interaksi (Ritzer & Goodman, 2010: 476).







BAB III
ANALISIS KORUPSI ELIT POLITIK DI INDONESIA
A.      Sebab Terjadinya Korupsi
Keprcayaan masyarakat terhadap elit politik pada saat ini sudah menurun. Hal ini, diakibatkan oleh ulah dan tindakan elit politik itu sendiri khususnya anggota (DPR RI), yang sudah mengabaikan kepentingan rakyat dan mengutamakan kepentingan dirinya dan kelompoknya. Elit politik sudah menjadi aktor utama korupsi yang merupakan malapetaka bagi bangsa Indonesia. Hanya hasrat kekuasaan dan kekayaan yang ingin dicapai, tanpa mengedepankan unsur kemanusiaan, kejujuran, dan kesejahteraan bagi kepentingan rakyat Indonesia.
Elit politik di Indonesia merupakan sarang rawan korupsi, karena di dalam instansi negara merupakan tempat uang anggaran negara, sehingga mereka yang memiliki kedudukan tinggi mempunyai peluang besar melakuan korupsi dan merupakan penyebab utama untuk melakukan tindakan korupsi. Godaan untuk mengkorupsi uang negara dengan berbagai rekayasa dan skenario sangat tinggi, terutama anggota DPR RI.
Masih hangat dibicarakan melalui media massa tentang kasus korupsi Wisma Atlet dan Hambalang serta beberapa kasus korup lain yang tentunya melibatkan beberapa elit politik di Indonesia. Hal ini merupakan fenomena yang sangat mengecawakan rakyat terhadap figur yang telah diberi kepercayaan darinya untuk menggapai kesejahteraan hidup berbangsa dan bernegara. Dengan mudahnya para elit politik Indonesia melakukan tindakan korupsi berarti menandakan bahwa pemimpin tidak memiliki moral yang tinggi dan hukum masih lemah dan belum rasional. Sehingga belum mampu menindas para pelaku korupsi secara menyeluruh.


Untuk lebih memperjelas sebab-sebab terjadinya korupsi. Yakni, ada beberapa faktor sebagai berikut : (a) Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi-posisi kunci yang mampu memberikan ilham dan mempengaruhi tingkah laku yang menjinakkan korupsi. (b) Kelemahan pengajaran agama dan etika. (c) Kurangnya pendidikan. (d) Kemiskinan. (e) Tiadanya hukuman yang keras. (f) Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku anti korupsi. (g) Struktur pemerintahan (h) Perubahan radikal. Tatkala suatu sistem nilai mengalami perubahan radikal, korupsi muncul sebagai suatu penyakit transisional. (i) keadaan masyarakat. Korupsi dalam suatu birokrasi elit politik bisa memberikan cerminan keadaan masyarakat secara keseluruhan.
Fakator-faktor penyebab korupsi di atas, yang paling pentinga adalah kelamahan pemimpin dan hukum yang kurang tegas. Sebagaimana dikatakan Wang An Shih, untuk melawan korupsi ada dua prasyarat yang mutlak yakni para pemegang kekuasaan yang bermoral tinggi dan hukum yang efisien dan rasional. Masing-masing tidak bisa berfungsi tanpa yang lainnya. Yang satu memberikan kondisi kepada yang lain. Keduanya harus ada agar setiap usaha bisa berhasil. (Syed Hussein Alatas, 1975 : 08).
Fenomena korupsi yang terjadi di Indonesia sangat di pengaruhi oleh pemimpin yang kurang tegas dan tidak bermoral tinggi serta hukum yang lemah dalam penangan kasus korupsi, sehingga elit politik yang cenderung melalakukan tindakan korupsi dengan mudahnya memutar balikan fakta dan mempermainkan hukum. Akibatnya selalu menimbulkan reaksi negatif dari masyarakat secara keseluruhan. Ironisnya para elit politik yang memegang kekuasaan cenderung memamerkan kemewahan tanpa melihat kondisi masyarakat yang di sekelilingnya serba kekurangan bahkan ada sebagian masyarakat yang belum punya rumah sebagai tempat tinggal yang layak.



B.       Dampak Korupsi.
Suatu perwujudan baru dalam sejarah korupsi di Indonesia telah dibeberkan belakangan ini, yakni peranan elit politik yang meningkatkan korupsi. Di mnan dewasan ini, kita sering mendengar isu-isu korupsi dikalangan elit politik. Dan tidak bisa dipungkiri bahwa dampak kerupsi itu telah menjalar kesuruh lapisan masyarakat. Bahkan merusak nama baik negara Indonesia di mata dunia internasional.
Perilaku korupsi di Indonesia sudah merupakan budaya secara turun temurun. Sehingga sulit menemukan aktor yang menjadi pelaku utama. Tentunya tindakan korupsi yang dilakukan oleh elit politik sangat berdampak terhadap kestabilan ekonomi, sosial dan budaya. Dengan demikian, masyarakat yang menjadi sasaran korban dari damapak korupsi tersebut, khususnya masyarakat menengah kebawah.
Masyarakat pada umumnya telah mengetahui tindakan korupsi, merupakan tindakan yang menyimpang dan seringkali dilakukan oleh elit politik. Sehingga kepercayaan masyarakat terhadap elit politik sudah menurun, dengan landasan bahwa elit politik tidak sepenuhnya menyampaikan aspirasi murni dari masyarakat. Elit politik lebih cenderung memperkaya diri dan kelompoknya. Dan pernyataan masyarakat tersebut tidak meleset dengan fenomena perilaku elit politik saat ini.
Fenomena korupsi yag terjadi di Indonesia yang dilakukan sekolompok elit politik merupakan perilaku yang turun temurun. Dengan demikian, seluaruh lapisan masyarakat tidak lagi mempercayai dengan penuh tehadap perwakilannya. Sebelum perwakilan rakyat mendapatkan jabatannya masyarakat masih mengagum-agumi saat pemilihan umum (pemilu). Oleh sebab itu masyarakan seakan-akan sinis terhadap perwakilannya pada saat. Bahkan pada masyarakat awam mengatakan bahwa elit politik yang mendapatkan kedudukan itu pembohong. Hal ini karena ulah elit politik yang mengubarkan janji untuk kesejahteraan masyarakat yang tidak sesuai dengan realita saat duduk di kursi Legislatif, bahkan para elit politik lebih cenderung memperkaya diri dan kelompoknya serta mengabaikan kepentingan masyarakat.
Kecenderungan elit politik melakukan tindakan korupsi sangat mempengaruhi terhadap pola pikir masyarakat mengenai dunia berpolitikin dan semangat nasionalis. Oleh sebab itu, perilaku korupsi sangat berdampak negatif terhadap bangsa dan negara.
Tindakan korupsi dibagi ke dalam tiga tipe utama yakni, pemerasan, nepotisme dan penyuapan. Masing-masing mempunyai dinamika dan fenomenologi yang berbeda.  Dalam konteks praktek korupsi yang bersifat memeras merupakan suatu fenomena yang cenderung menjalar dengan cepat, yang membawa serta keteledoran dan ketidak efisienan. Jika tidak dicegah dengan efektif akan beralih pada lingkaran yang semakin luas. Kasus korupsi telah merajalela dan menembus segala kehidupan. Hampir tidak ada yang bisa dilakukan seseorang tanpa suapan serta mementingkan kelompoknya diatas dari yang lain.
Perilaku korupsi yang dilakukan elit politik pada saat ini, sangat berdampak negatif terhadap kesejateran masayarakat, yang berdampak negatif pada semua sisi, kemiskinan, kesehatan, pendidikan, pengangguran, infrastruktur, dan lain. Yang masih membutuhkan perhatian dan penanganan secara serius.
C.      Pencegahan Korupsi
Perilaku korupsi elit politik yang telah dibahas sebelumnya tidak berlaku dengan sendirinya jika memang tidak ada sejumlah individu yang mempunyai kesempatan untuk melakukan korupsi. Dalam faktor-faktor terjadinya korupsi nilai moral individu yang bersangkutan sangat menjadi penentu. Sama halnya, para elit politik yang punya wewenang dan kekuasaan di legislatif yang diberi kepercayaan  untuk menyampaikan aspirasi masyarakat dan memberantas korupsi. Akan tetapi tidak akan berhasil jika tidak ada sejumlah individu yang punya prinsip tinggi yang menduduki posisi-posisi kunci dan vital untuk keberhasilan usaha memberantas korupsi. Problem dalam masyarakat yang memilki hasrat tinggi untuk melepaskan diri dari cengkeraman korupsi adalah justeru bagaimana menyediakan orang-orang yang bermoral tinggi dalam jumlah yang cukup dan bagaimana melancarkan pemunculan mereka pada posisi-posisi kunci dan vital.
Tidak bisa kita pungkiri bahwa peningkatan korupsi di Indonesi telah menjangkiti berbagai sistem yang seharusnya terhindar dari kejahatan korupsi. Dengan demikian, sangat jelas bahwa tidak menjadi soal betapapun bentuknya sistem, jika memang individu-invidu di dalamnya tidak menjiwai nilai kejujuran,  dan moral yang tinnggi niscaya sistem-sistem itu bisa disalahgunakan oleh para elit penguasa.
Lasswel dan Rogow, berpendapat sebagai berikut: (a) Apabila kepemimpinan dalam lembaga tidak memberikan suatu model kejujuran, maka mereka yang bekerja dalam lembaga itu bisa “bekerja dengan seeanaknya ataupun tanpa banyak merasa enggan untuk berbuat begitu”. (b) Bila keanggotaan suatu lembaga tidaklah kolektif memaksakan standar-standar kejujuran, kecenderungan ke arah korupsi individual niscaya meningkat. (c) Lembaga-lembaga yang berprestise tinggi dan yang memang meningkat prestise, lebih mungkin menarik orang-orang yang ambisius yang berurusan dengan kelangsungan karir mereka ketimbang orang-orang korup yang tertarik untuk meningkatkan keuntungan peribadi mereka. (d) Lembaga-lembaga yang merosot kekuasaan ataupun prestisenya lebih cenderung untuk menarik orang-orang yang korup yang ingin meningkatkan keuntungan pribadi mereka ketimbang orang-orang yang ambisisus yag berurusan dengan kelangsungan karir mereka. (syed Hussein Alatas, 1975:69-70).
Ketika suatu sistem yang relatif memadai dilanda wabah pemegang-pemegang kekuasaan yang korup, peranan para tokoh yang suci karismatis harus mulai memasuki permainan. Ketika pengadilan-pengadilan didominir oleh hakim-hakim yang korup, ketika oknum-oknu polisi menjadi para penjajah, ketika para anggota parlemen korup dan tak ambil peduli, ketika tokoh-tokoh elit politik yang berpengaruh menyalahgunakan kekuasaan mereka, ketika tidak ada kelompok yang memberikan perlindungan pada publik, maka para tokoh yang saleh, yang hampa kekuasaan dan kekayaan, bisa bertindak sebagai pusat pemancaran nilai-nilai kejujuran. Mereka menjadi satu-satunya penjelmaan yang berpengaruh dari kejujuran yang ideal. Pengajaran dan petunjuk para tokoh-tokoh yang shaleh disampaikan dalam bahasa yang terang kepada orang banyak. Cerita-cerita tentang kehidupan dan pengajaran mereka memberikan ilham tentang kejujuran dan menanamkan nilai moral kepada masyarakat.
Menanamkan nilai moral kepada pemimpin dan masyarakat secara menyeluruh, merupakan langkah yang baik dalam mencegah tindakan korupsi di Indonesia. Dengan demikian, pemimpin yang bermoral tinggi dan hukum yang keras dan rasional akan menciptakan negara yang bersih dari tindakan korupsi. Sebaliknya akan menciptakan kepincangan apabila pemimpin yang bermoral tinggi tidak di dukung dengan hukum yang keras dan rasional serta aparat penegak hukum yang komitmen, dan selalu melibatkan peranan tokoh-tokoh yang shaleh yang memberi pengaruh dalam menanamkan nilai moral bangsa dan negara. Serta pengaruh partisipasi dari seluruh lapisan masyarakat untuk memilih pemimpin negara yang bermoral tinggi dan ideal. Serta selalu mendukung dalam mengawasi perilaku pemimpin.











BAB IV
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Berikut ini adalah serangkaian kesimpulan dari persoalan yang diangkat dalam tulisan ini, sebagai berikut:
1.        Elit politik lebih mengutamakan kepentingan diri sendiri dan kelompoknya di atas kepentingan masyarakat. Sehingga kepercayaan masyarakat menurun terhadap perwakilannya.
2.        Faktor-faktor penyebab korupsi, yakni lemahya kepemimpinan sebagai posisi kunci untuk menjinakkan korupsi, kurangnya pengajaran agama dan etika, hukum yang lemah, kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku anti korupsi dan perubahan radikal.
3.        Perilaku korupsi yang dilakukan oleh elit politik telah berdampak negatif di seluruh lapisan masyarakat, dan merusak nama baik negara Indonesia dimata dunia internasional.
4.        Tindakan  korupsi tidak akan terjadi jika sejumlah individu tidak mempunyai kesempatan. Nilai moral individu merupakan faktor penentu.
5.        Menanamkan nilai moral yang tinggi kepada pemimpin dan hukum yang keras dan rasional merupakan langkah yang baik untuk mencegah perilaku korups







REFERENSI
Baginni, Zainal, 2003. Making Sense Filsafat Dibalik Headline Berita (Penerjamah: Nurul Qamariah). Teraju. Jakarta.
Budiardjo, Mariam. 1986. Dasar-Dasr Ilmu Politik. PT. Gramedia. Jakarta.
Budiman, Arief. 1995.  Teori Pembangunan Dunia Ketiga. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.s
Bellamy, Richard. 1990.  Teori Sosil Modern (Perspektif Itali). Jakarta : LP3ES.
Damsar, 2010, Pengantar Sosiologi Politik. Kencana. Jakarta.
Dwi Susilo, Rachmad K, 2008, 20 Tokoh Sosiologi Modern. Ar-Ruzz Media. Jogjakarta.
Franz Magnis-Suseno, 2009. Menjadi Manusia “belajar dari Aristoteles”. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Jurdi S, 2012, Awal Mula Sosiologi Modern. Kreasi Wacana.
Kartini, Kartono. 2005. Patologi Sosial. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta.
Maurice Duverger, 2000, Sosiologi Politik. PT RajaGrafindo, Jakarta.
Nazir, Nasrullah, 2009, Teori-Teori Sosiologi, Widya Padjadjaran, Bandung.
Nurudin, DKK. 2011. Opini Publik “ Sebagai The Fifth Estate”. LeutikaPrio. Yogyakarta.
Poloma. Margaret M, 2003, Sosiologi Kontemporer, PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Ritzer, George, 2007, Sosiologi  Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda.  PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Syed H. A, 1982, Sosiologi Korupsi. PT Matahari, Jakarta.
Ciutkan pos ini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar