Total Tayangan Halaman

Sabtu, 17 November 2012

MAYOR JANTJE, TUAN TANAH MARDIJKERS BATAVIA ABAD KE-19 SEKALIGUS PENCIPTA KESENIAN TANJIDOR


MAYOR JANTJE, TUAN TANAH MARDIJKERS BATAVIA ABAD KE-19 SEKALIGUS PENCIPTA KESENIAN TANJIDOR
.::Cut Nyak Dien::.

Kaum Mardijkers merupakan kelompok serdadu Mardijkers dalam tentara dagang Hindia Timur Belanda. Secara umum mereka berasal dar
i daerah jajahan Portugis di India, yang kemudian dibebaskan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk membantu angkatan perang VOC. Vlekke (2008) menjelaskan bahwa kaum "Mardijkers" ini adalah penduduk asli daerah Malabar, Coromandel, Arakan dan Benggala. Bahasa yang mereka pakai adalah Portugis Creole.

Perpindahan kaum “Mardijkers” ke nusantara semakin intensif dilakukan ketika Belanda menaklukan Malaka tahun 1641, dan sebagaimana yang telah diketahui, kaum “Mardijkers” berarti orang-orang merdeka’ atau ‘orang bebas yang bukan budak’, dan menurut salah satu pendapat, kata “Merdeka” dalam bahasa Indonesia berasal dari kata “Mardijkers” ini. Diketahui semenjak menetap di Batavia sekitar awal abad ke 17, nama orang-orang “Mardijkers” pelan-pelan berasimilasi menggunakan nama orang-orang Belanda, termasuk unit-unit militernya. Oleh pemerintah kolonial mereka ditempatkan di daerah Kampung Tugu (dewasa ini terletak di kawasan kecamatan Koja-Jakarta Utara).

Leluhur Mayor Jantje adalah bekas seorang budak yang bernama Titus van Benggala. Ia menjadi Kapten serdadu “Mardijkers” pada tahun 1728 dan bermukim di Batavia Timur, tempat berdirinya “Buitenkerk” (Gereja Portugis) hingga sekarang ini. Mayor Jantje atau Agustijn Michiels sendiri lahir pada tanggal 6 Januari 1769 dan pada tanggal 8 Oktober 1788 ia menikahi Maria Wilhemina de Bruijn. Ia mewarisi kekayaan yang begitu besar dari keluarganya di tahun 1805.

Karir militernya pun juga naik dengan pesat. Tahun 1789 ia menjadi ”Vaandrig der Inlandsche Burgerij”. Kemudian ia memperoleh jabatan ”Luitenant der Inlandsche Christenen” di bulan September 1800 hingga akhirnya dia mengajukan pengunduran dirinya di tahun 1807 setelah 20 tahun berdinas di militer dengan pangkat terakhir ”Oud-Majoore der Burgerij”. Namun seperti orang ”Mardijkers” lainnya, Mayor Jantje tidak pernah bermukim di Weltervreden, tempat orang Belanda dan Eropa berdiam bersama-sama. Dia lebih memilih tinggal di Echte Mardijkerbuurten di sekitar Ancol.

Tahun 1817, Mayor Jantje membeli rumah dan tanah Citeureup dari Catharina Valentijn seharga 91.300 gulden. Ia lalu mengambil pula daerah pedalaman sekitarnya dari Batavia ke Buitenzorg (Bogor), termasuk diantaranya daerah Cileungsi, Klapanunggal, Cipamingkis, Cimapag, Tanah Baru, Cibarusa dan Nanggewer.

Jarak dari Citeureup ke Batavia sekitar 22 pal (33 km) dan 11,5 pal dari sebelah timur laut Buitenzorg. Rumah yang ia beli tersebut mempunyai pemandangan alam yang sangat asri dengan lembah-lembah sungai, sawah, pohon-pohon kenari dan sebagainya. Rumah ini juga menakjubkan dengan adanya beberapa bangunan “echt-Indische huis” yang berada di sekitarnya.

Hidup di Citeureup sangat menarik dan hebat karena Sang Tuan Tanah menyampaikan kebaikan hati dan keramahannya kepada setiap orang terutama kepada para tamunya dan sahabat-sahabatnya bahkan kepada mereka yang tidak pernah berhubungan baik dengannya. Hal ini dikemukakan oleh F. De Haan dalam tulisannya “De Laastste der Mardijkers”. Kehidupan ceria tak berkeputusan sangat terasa disana. Setiap orang bersenang-senang meriah dihibur oleh budak-budak Mayor Jantje, kuda, anggur dan musiknya.

Kehidupan Mayor Jantje yang bagaikan “Raja Citeureup” juga dikisahkan oleh Letnan Dua Kavaleri J.B.J. van Doren yang datang ke kediaman Mayor Jantje sekitar tahun 1822. Ia mengatakan bahwa Mayor Jantje memiliki sekitar 100 orang budak wanita. Dan sesungguhnya jika dijumlahkan seluruhnya maka terdapat 320 orang yang bekerja untuknya di Wisma Citeureup. Suatu kumpulan pemusik yang disebut “het muziek corps” juga diambil dari jumlah tersebut yang menghibur tamu-tamu dengan musik Eropa, Tionghoa juga musik lokal pribumi seperti gending Jawa.

Tak dapat disangkal bahwa segala kemeriahan dan kegembiraan duniawi memerlukan biaya yang besar sekali. Umpamanya, seluruh kebutuhan rumah tangga Mayor Jantje membutuhkan kurang lebih 3280 gantang beras dalam sebulan. Bahkan hewan piaraannya saja perlu 28 gantang. Untuk membantu membiayai pengeluaran yang sedemikian besar, Mayor Jantje menyewakan sebagian besar tanahnya kepada orang Tionghoa.

Tanggal 27 Januari 1833 menandai hari terakhir Mayor Jantje, seorang “de Rijkste Grondeigenar van Java” (pemilik tanah terkaya di Jawa). Ia tutup usia di Semper Idem, rumahnya di Batavia. Korps musiknya memainkan lagu terakhir untuknya dalam suasana berkabung, suatu ucapan selamat jalan yang juga menandai akhir kisah hidup seorang “Mardijkers” terakhir yang terkenal dalam sejarah Hindia Belanda.

Semua tanah miliknya dibagi-bagikan untuk anak-anaknya, sedangkan saudara-saudara dan laki-laki memperoleh peninggalan sejumlah uang. Di surat wasiatnya, ia juga mencantumkan pembebasan seluruh budak perempuannya. Dan barangkali, salah satu peninggalan Mayor Jantje yang paling berharga adalah tradisi bermusik yang kemudian hari dikenal sebagai tanjidor, musik Indo-Belanda yang dikenal sebagai musik rakyat Betawi.

Sumber: sosbud.kompasiana.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar