Total Tayangan Halaman

Sabtu, 17 November 2012

MENGAYAU, SALAH SATU TRADISI SUKU DAYAK


MENGAYAU, SALAH SATU TRADISI SUKU DAYAK


Masyarakat dan kebudayaan adalah dua hal yang tidak terpisahkan. Masyarakat merupakan otak yang menciptakan ide/gagasan sehingga kemudian membentuk pola perilaku, kebiasaan, dan m
enjadi kebudayaan. Saling berkesinambungan, begitulah sifatnya. Mengkaji tentang kebudayaan masyarakat merupakan pembelajaran untuk kehidupan selanjutnya. Apalagi, individu manusia dilahirkan dengan sebuah tanggung jawab untuk menjadi khalifah di muka bumi, dalam arti kata menjadi pemimpin, pengawas, pengelola, pemelihara bumi dan seluruh isinya. Pola perilaku manusia pun terbagi-bagi menjadi beberapa sistem kehidupan.

Koentjaraningrat membagi tujuh unsur kebudayaan yang meliputi aspek material maupun nonmaterial. Aspek tersebut, antara lain:
1) Sistem religi dan keagamaan,
2) Sistem dan organisasi kemasyarakatan,
3) Sistem pengetahuan,
4) Bahasa,
5) Sistem kesenian,
6) Sistem mata pencaharian hidup,
7) Sistem teknologi dan peralatan.

Mengayau atau memenggal adalah sebuah tradisi yang kerap dilakukan oleh komunitas dayak pada masa lalu. Tapi, pada saat ini pun ada beberapa komunitas dayak yang masih melakukan tradisi mengayau. Apa yang menjadi latar belakang tradisi mengayau dilakukan oleh dayak? Untuk mengetahui kebiasaan tersebut sehingga kemudian berkembang menjadi tradisi, kita bisa menelusuri dari sejarah orang-orang dayak. Sejarah orang-orang dayak di Kalimantan ditandai oleh migrasi besar-besaran, seperti peperangan, pengayauan (pemenggalan), penaklukan, yang mana hal itu terjadi selama hampir tiga abad (dalam Surya di Timur Laut Kalimantan; YDBCC dan yayasan Kalbu).

Ada beberapa faktor yang mengakibatkan komunitas dayak melakukan migrasi besar-besaran, diantaranya;
1. Perubahan alam, seperti keberadaan hutan sebagai sumber pangan untuk kebutuhan hidup mereka yang mengalami kerusakan akibat faktor iklim dan beberapanya campur tangan manusia, seperti pembukaan lahan perkebunan, logging, dan pertambangan (faktor kerusakan lahan akibat perkebunan, logging dan pertambangan terjadi ketika bangsa kolonial memasuki pedalaman Kalimantan).
2. Adanya desakan akan kebutuhan hidup survive mengakibatkan kebiasaan komunitas dayak yang menjalankan hidup nomaden semakin meluas.
3. Kebutuhan untuk survive juga mendorong komunitas dayak untuk membangun ketahanan hidup dengan melakukan peperangan, menguasai kelompok suku lainnya untuk memperluas lahan, menaklukan kelompok suku dayak lainnya, dan untuk regenerasi.

Pada dasarnya, dayak tidak mengenal agama. Kepercayaan mereka bukanlah pada monoteisme. Pandangan terhadap dunia (world view), hukum, kepercayaan, hubungan dengan masyarakat dan kebiasaan lain merupakan tradisi yang kemudian menjadi way of life mereka. Suku bangsa Dayak asli merupakan penganut animisme yang disebut kaharingan diambil dari istilah danum kaharingan yang artinya air kehidupan. Mereka percaya kepada roh-roh (ngajum ganan) yang menempati tiang rumah, hutan, pohon besar dan air. Roh nenek moyang (ngaju liau) merupakan makhluk halus terpenting dalam kehidupan masyakarat asli Dayak.

Mengayau dilakukan atas dasar kepercayaan. Tapi, seiring dengan terbukanya akses jalan dan perubahan alam, keberadaan tradisi mereka tidak luput dari pengarauh eksternal hingga terjadilah perubahan sosial dalam kehidupan mereka, termasuk cara pandang terhadap kepercayaan (tradisi world view).

Pengayauan memiliki latar belakang alasan, menurut pandangan religius orang dayak, jiwa atau daya hidup manusia tinggal di dalam kepala manusia. Kepala yang dikayau (dipenggal) adalah benda magis, yang bersifat religius untuk menguatkan kehidupannya dan orang lain. Kepala korban pengayauan dikumpulkan dari berbagai umur. Kepala-kepala yang telah dikayau diperlukan untuk upacara adat, untuk membersihkan dan untuk memperkokoh desa. Terkadang, para pemuda dari suku dayak melakukan pengayauan untuk membuktikan keberanian pada calon pengantin wanita.

Seiring dengan perubahan sosial, terutama ketika bangsa kolonial mulai memasuki pedalaman Kalimantan, kebiasaan mengayau berkurang. Pada masa itu, kolonial Belanda dan Inggris melakukan patroli militer yang kemudian membawa orang yang telah mengayau. Selain itu, kedatangan orang luar yang membawa misi menyebarkan agama, turut juga mempengaruhi kebiasaan orang-orang dayak untuk tidak melakukan pengayauan. Apalagi mengayau kepala manusia dianggap sebagai perbuatan yang tidak berperikemanusiaan dan melanggar norma dan nilai agama. Tradisi mengayau kepala manusia untuk sesaji bagi upacara adat diganti dengan kepala kerbau.

Sumber: izuraida.blogspot.com

1 komentar:

  1. Yth Dava Ipank, Proficiat atas blog anda yang lumayan bagus ini. anda telah berani mengulas lebih jauh tentang budaya "Mengayau". saya tidak tahu apakah anda orang Dayak, peranakan Dayak atau bukan sama sekali orang Dayak tetapi yang jelas, seandainya anda orang Dayak asli pasti pasti anda malu men-cap diri dan nenek moyang anda sebagai animisme. Kalau boleh saya sarankan, silahkan pelajari dengan betul dan seteliti mungkin tentang sistem kepercayaan orang Dayak setelah itu bandingkan dengan animisme.

    BalasHapus